Add a heading 2 removebg preview

Ditulis oleh Nina Sumitri on . Dilihat: 6058

PERAN AKTIF HAKIM DALAM UPAYA PERDAMAIAN TERHADAP PERKARA PERCERAIAN DI PENGADILAN AGAMA MANINJAU

(Perkara No.80/Pdt.G/2021/PA.Min)

M. Yanis Saputra, S.H.I

Bandarlampung, Lampung

Alamat email ini dilindungi dari robot spam. Anda memerlukan Javascript yang aktif untuk melihatnya.

 

 

  1. PENDAHULUAN

Sudah menjadi paradigma umum dalam hukum acara perdata dengan menempatkan hakim bersifat pasif dalam menjalankan tugas dan fungsinya sebagaimana asasnya yakni asas hakim pasif dalam arti bahwa ruang lingkup atau luas pokok sengketa yang diajukan kepada hakim untuk diperiksa pada dasarnya ditentukan oleh para pihak yang berperkara dan bukan ditentukan oleh hakim. Meskipun begitu terdapat suatu keadaan yang memposisikan hakim agar aktif menyelesaikan perkara perdata, salah satunya adalah hakim harus bersikap aktif untuk dapat mendamaikan kedua belah pihak yang berperkara sebagaimana ketentuan pasal 130 HIR / pasal 154 RBg dan juga pasal 1851 KUHPerdata. Dalam pasal-pasal ini hanya memuat kewajiban bagi hakim untuk mengadakan perdamaian terlebih dahulu sebelum memulai memeriksa pokok perkara.

Pada setiap permulaan sidang, sebelum pemeriksaan perkara, hakim diwajibkan mengusahakan perdamaian antara pihak-pihak yang berperkara. Perdamaian yang dimaksud disini adalah perdamaian yang dikenal dengan istilah “dading” dalam praktik hukum acara perdata, yakni persetujuan/perjanjian yang disetujui oleh kedua belah pihak yang bersengketa untuk mengakhiri perselisihan terhadap suatu perkara yang sedang diselesaikan oleh pengadilan. Hal ini pun sesuai dengan maksud pasal 82 ayat (4) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 jo pasal 31 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 beserta penjelasannya, dimana dikemukakan bahwa selama perkara belum diputus, usaha perdamaian para pihak yang berperkara dapat dilakukan setiap sidang pemeriksaan.

Tidak hanya itu, bahkan Mahkamah Agung menilai kurang optimalnya dari penerapan pasal-pasal tersebut diatas, dimana secara umum masih ada sikap dan perilaku hakim yang tidak bersungguh-sungguh untuk mendamaikan para pihak yang bersengketa dan hanya terkesan formalitas saja. Sehingga lahirlah gagasan untuk mengintegrasikan mediasi ke dalam sistem peradilan atau biasa dikenal di beberapa negara dengan istilah court connected mediation. Hal inilah yang menyebabkan adanya perubahan demi perubahan dari waktu ke waktu mengenai mediasi di Pengadilan dan terakhir ditetapkannya Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan menjadi suatu aturan khusus mengenai hal tersebut oleh Muhammad Hatta Ali sebagai Ketua Mahkamah Agung saat itu pada tanggal 03 Februari 2016.

Namun, terlepas dari semua aturan tersebut, Mahkamah Agung menginginkan adanya penyelesaian sengketa dengan perdamaian, terlebih lagi perdamaian dalam halnya perkara perceraian. Dalam hal ini makna perdamaian dalam sengketa perceraian mempunyai nilai keluhuran tersendiri, tanpa mengurangi dari esensi perdamaian dalam sengketa perdata secara umumnya. Hal ini terlihat ketika tercapainya perdamaian antara suami istri dalam perkara perceraian, bukan hanya keutuhan rumah tangga yang dapat diselamatkan tetapi juga kelanjutan pemeliharaan anak dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya. Oleh karena itu diharapkan hakim dapat secara efektif dan optimal untuk menemukan hal-hal yang latarbelakangi terjadi suatu persengketaan yang terjadi dalam rumah tangga tersebut.

Bahkan dalam agama Islam pun mengatur untuk terjadinya perceraian hanya dengan alasan tertentu saja sebagaimana tergambar dalam hadits nabi yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Ibnu Majah dimana berbunyi “Perbuatan halal yang sangat dibenci Allah adalah thalaq (cerai)”, Sehingga ini menjadi dasar secara filosofi dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 sebagaimana telah diubah Undang-undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang perkawinan yang mempersulit suami istri untuk bercerai. Apabila terpaksa sekali, maka harus memenuhi alasan-alasan yang memang layak untuk dijadikan alasan untuk terjadinya perceraian. Oleh karena itu, disinilah dibutuhkannya peran aktif hakim untuk mengupayakan perdamaian dalam perkara perceraian di Pengadilan Agama yang tentunya seorang hakim mesti memiliki seni dan strateginya dalam menangani suatu perkara.

Pada tahun 2021, Pengadilan Agama Maninjau telah menerima 174 perkara dan perkara yang telah diputus berjumlah 155 perkara dimana beberapa diantaranya ada yang dicabut oleh para pihak yang berperkara dikarenakan dapat didamaikan oleh majelis hakim dipersidangan dan juga ketika mediasi. Hal ini menunjukkan Pengadilan Agama Maninjau telah mengoptimalkan upaya perdamaian agar dapat meminimalisir terjadinya perceraian dan memberikan perlindungan kepada anak-anak yang nantinya akan menjadi korban dari perceraian orang tuanya. Sehingga penulis menjadi tertarik untuk membahas kajian ini, dimana menjadi penting sekali peranan seorang hakim yang akan menyelesaikan suatu permasalahan khususnya perkara perceraian. Oleh karena itu, yang menjadi rumusan permasalahan dalam tulisan ini adalah : bagaimana peran aktif hakim dalam perkara perdata dan bagaimana peran aktif hakim dalam upaya perdamaian perkara perceraian di Pengadilan Agama Maninjau.

Untuk Lebih Lengkap, Silahkan Klik Lanjutkan

Hubungi Kami

Pengadilan Agama Maninjau

Jl. Raya Bukittinggi - Lubuk Basung KM. 26
Padang Gelanggang, Matua Mudiak, Matur,
Kabupaten Agam Prop. Sumatera Barat
Kode Pos 26162 Telp/Fax: (0752) 61025 
Email  : Alamat email ini dilindungi dari robot spam. Anda memerlukan Javascript yang aktif untuk melihatnya.Alamat email ini dilindungi dari robot spam. Anda memerlukan Javascript yang aktif untuk melihatnya.">

 

 SOSIAL MEDIA

Pngtreeinstagram icon instagram logo 3584853     Pngtreeyoutube color icon 3547792      facebook icon icons.com 59205

 

Instagram : @paminreligious

youtube : Pengadilan Agama Maninjau

facebook : PAmin religious court

Tautan Aplikasi